Dunia Sastera

Archive for Februari 25th, 2008

Ku terpukul angin
terbawa dari jauh, tempatku meluruh

Tenang kubawa
topeng penuh derita, lara cinta

Tegak kepala
tunjukkan dahi, banggaku perih

Angin yang kau tebar aroma sayat ulu hati
belah yakinku : tentangmu

Lalu...

Tegak kepala
kuhapus air mata : patah asa

Angin hembus rambutku, belai sedihku
Kesepian temaniku, saat tiada kamu

Nantiku terpeluk sakit, tesudut pelik

Angin...
Sampaikan, luka hatiku : aku tak mampu menangung rindu

Advertisement

Sudah berbilang musim beta tidak juga pulang
Meski kapal-kapal bersipacu nasib baik belum
berkunjung
Ada luka tersimpan disana, mau bikin apa sio gandong
Itu tanah milik siapa sio kona nama yang hilang

Siapa kini penjaga  cahaya jika bobato tergiur kursi
Masjid dan langgar sepi puisi tak ada lagi yang baca
barjanji
Di singgasana para kolano memanen rejeki
Melingkar janji dengan tarian jin salai, eeee
doti-doti

Sudah berbilang musim kaki langit terkurung mendung
Tapi  tuan governur bilang jangan coba untuk pulang
Ale masih harus bikin perhitungan di tiang gantung
Kalau mau terus berdiri sebagai petarung, sio gandong

Tuan boleh unjuk gigi pake manyiang deng kabaya donci
Tapi beta anak negeri dengan seribu panah puisi
Kalau sampe beta marah nanti, beta bikin laut mandidi
Ikan-ikan lari, irama tifa deng bunyi tahuri, tuan
mati

”Mari tuan katong baku cigi, beta siap mati”

Banda Aceh, 24 Februari 2008-02-25
dino f. umahuk <valdinho74@yahoo.co.uk>

Kaicil Paparangan= Gelar Sultan Nuku
Basudara tuang hati jantong= Saudara sehati se jantung
Gandong= Saudara kandung
Sio kona= aduh kasihan
Bobato= Pemuka agama dan adat di Maluku Utara
Kolana= Kepala Pemerintahan Adat di Maluku Utara
Jin Salai= Tarian Jin
Doti-doti = ilmu hitam
Manyiang deng kabaya donci= pakaian untuk ke pesta
Mandidi = mendidih
Tahuri= alat musik dari kulit bia (kerang laut)
Baku cigi= memancing ikan kecil untuk umpan

Lalu nona tikam janji seperti setan bermain api
Perempuan dengan mata setajam duri
Darimana cakar kuntilanak menorehkan hati
Kau selalu saja diam-diam menyimpan belati

Maka pada purnama kesekian yang menelikung janji
Kita semakin tak bisa mengukur debar di urat nadi
Ada saja air garam kau rebus di dalam panci
Berharap cinta cepat matang dia malam hari

Aku bukannya tak pernah sudi memadu janji
Tapi jarak semakin tergugu di ujung jemari
Perempuan dengan rambut sehitam kenari
Sudah berapa rindu pernah kau titip ujung pelangi

Banda Aceh, 24 Februari 2007

dino f. umahuk

Kembali Ke Titah
Oleh: D Kemalawati

Ketika saya telah menerima tawaran Dino Umahuk untuk
menulis pengantar untuk buku puisinya, saya baru
menyadari bahwa saya belum pernah membaca satu puisi
pun karya Dino Umahuk secara bersungguh-sungguh. Saya
baru mengenal Dino beberapa bulan yang lalu. Beberapa
kali saya melihat  Dino tampil pada pentas
musikalisasi puisi bersama Rahmad Sanjaya dengan
komunitas Rumah Sawahnya. Dino memang baru menetap di
Banda Aceh walau pun jauh sebelumnya dia pernah
berkunjung beberapa kali ke Aceh, baik ketika masih
mahasiswa maupun ketika konflik berkecamuk di Aceh.
Setelah tsunami melanda Aceh, Dino kerap datang dengan
misi kemanusiaannya. Dan akhirnya ia memperoleh
pekerjaan yang mengharuskan ia menetap untuk beberapa
tahun mendatang di bumi Iskandar Muda ini.

Ternyata begitu draf buku puisi berada di tangan saya,
saya justru merasa bahwa saya sedang membaca karya
para penyair Aceh yang menuliskan keindahan alam
baharinya dengan penuh imaji, kerinduan pada Sang
Khalik, keterasingan dalam negeri sendiri karena
konflik yang sengaja diciptakan, tentang hilangnya
rasa kasih sayang, serta musibah besar gelombang
tsunami. Beberapa puisi cinta yang ditulis Dino
menggunakan imajinasi yang sama dengan penyair Aceh.
Maka sajak-sajak Dino menjadi sangat familiar bagi
saya meski pun alam kelahiran Dino yang jauh di Ambon
sana memiliki kultur  yang mungkin agak berbeda dari
Aceh.

Puisi-puisi yang terkumpul dalam Metafora Birahi Laut
ini ditulis dalam berbagai tema. Lalu sang penyair
memilah berdasarkan tema dengan memberi sub-sub judul.
Yang menurut saya pada sub judul Haluan Menuju,
puisi-puisi Dino sangatlah kuat dan memiliki nilai
religi yang agak jarang ditulis oleh penyair seusia
Dino. Oleh sebab itu maka  pengantar saya beri judul
Kembali ke Titah, yang kiranya tak meleset jauh dari
apa yang ditulis Dino tentang kematian dan jalan
pulang.

Setiap detak nafas adalah meringkas jalan pulang
entah bersama entah sendiri
menempuh jarak ke pangkuan Ilahi Rabbi
(“Berlayar Pulang”)

Dino menyadari bahwa setiap detak nafas tak lain
adalah pengurangan usia bagi makhluk hidup. Manusia
yang kadang alpa memaknai helaan nafas selalu berlaku
sombong dan angkuh merasa hidup akan selamanya.

Bagi Dino, mati bukan soal. Karena siapa pun yang
hidup akan mati apabila telah sampai ajalnya. Tetapi
yang diresahkan Dino adalah bagaimana cara dia
menjumpai Ilahi Rabbi jika selama hidupnya ia merasa
penuh dosa.

Mati bukan soal apa tapi bagaimana
menuju pulang lautanku penuh jelaga
(“lautan Jelaga”)

Kalau pada puisi Lautan Jelaga, Dino meresahkan
dirinya yang akan kembali tetapi lautannya penuh
jelaga maka pada menuju kematian, ia meyakini
tiap-tiap yang hidup akan mengalami mati. Banyak sebab
seseorang itu mati. Ada yang mati dengan tenang, ada
yang mengalami kecelakaan, musibah bencana alam, mati
karena aksi kekerasan hingga mati bunuh diri dengan
meracuni diri bahkan sampai aksi bunuh diri dengan
memasang bom yang bukan hanya berniat menghantar
kematian diri sendiri tetapi memaksa malaikat membawa
nyawa-nyawa lain yang tak bersalah. Dino menulis dalam
Menuju Kematian

Seperti apapun nyawa-nyawa melangkah pergi
hanya soal cara bagaimana malaikat menghampiri
(“Menuju Kematian”)

Bukan, bukan kematian itu yang dipermasalahkan karena
semua yang hidup pasti akan mati. Soal  cara bagaimana
Malaikat menghampiri untuk mencabut nyawa seseorang
yang kemudian  sering merupakan sebab yang
diperbincangkan.

Izrail mengintai nyawa-nyawa untuk dikirim
pulang ke langit tujuh lapis
di Baiturrahman sayapnya singgah telah
terangkat seratus ribu lebih nyawa
(“Izrail Mampir di Bumi Aceh”)

Ketika tsunami melanda Aceh, Minggu pagi 26 Desember
2004, malaikat bergentayangan hilir mudik melintasi
Serambi Mekah. Ia melihat air laut tumpah
menghilangkan tanah daratan. Izrail datang mengintai
nyawa-nyawa untuk dikirim pulang. Saat itu ratusan
ribu nyawa terpisah dari badan dan banyak kita melihat
tapi tak mengenal maka hanya Izrail yang menandai
tubuh dan roh yang dibawa pergi.

Kematian adalah kematian tulis Dino dalam puisinya.
Tapi menyaksikan kematian yang akibat bunuh membunuh
menimbulkan gulana hingga ia perlu mengajak umat
beragama untuk menanyakan pada Rasulnya masing-masing
apakah memang agama Tuhan mengajarkan umat manusia
untuk saling membunuh.

Bila nanti siang kau sholat Jum’at
barangkali di Mesjid Al-Fatah
atau hari Minggu nanti kau ibadah
atau ikut Missa mungkin di Gereja Maranatha
mungkin di Kadetral
tolong tanyakan kepada Muhammad dan Isa
yang Agung itu
apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
agar saling membunuh?

Kalau memang demikian
mengapa agama melarangku bunuh diri

(“Agama Bunuh Diri”)

Membaca puisi-puisi Dino meskipun menggunakan bahasa
yang terkesan klise tapi  pencarian diri telah sampai
pada titik yang mencengangkan. Hanya dengan bahasa
yang sederhana kita diajak untuk menerima dengan
ikhlas apa yang seharusnya akan terjadi. Ia tidak
mengeklusifkan dirinya dengan keimanan yang dianutnya.
Tentu yang sangat diinginkan adalah suasana damai di
muka bumi tanpa ada pertumpahan darah sehingga ia
memerlukan mengajak umat Nabi Muhammad dan kaum Nabi
Isa untuk menanyakan tentang ajaran agama
masing-masing tentang bunuh membunuh.

Selain puisi-puisi bernuansa religi, puisi-puisi cinta
baik untuk tanah kelahiran maupun untuk sang kekasih
bertebaran dalam kumpulan puisi ini. Beberapa sajak
pelarian menguatkan kerinduan Dino pada kampung
halamannya dan kegelisahannya dapat kita pahami
apabila limit waktu kepulangan tak ada kata pasti.

Ini bulan keduabelas
dari pelarianku yang tak kenal batas waktu
bersama keyakinan yang membongkah jadi batu
adakah jiwa sunyi ini
punya tempat untuk pulang

(“Sajak Pelarian V”)

Betapa bedanya seorang pelarian dan seorang perantau
ketika merasakan kerinduannya pada kampung halaman.
Sang perantau tanpa rasa gundah akan pulang kapan saja
ia inginkan, tetapi bagi seorang pelarian tentu tak
seleluasa perantau. Bisa jadi selamanya ia tak bisa
kembali meskipun kampung dan seluruh penghuninya tak
ada lagi.
Sebagai seorang anak yang mengharapkan ibunya, Dino
sang penyair masih selalu berharap.

Ibu
mimpi pasti membunuhku malam nanti
di tanah pelarian yang begini jauh
apakah doamu akan sampai?

(“Ibu”)

Betapa menderitanya seorang pelarian. Tak ada rasa
aman, sebab mimpi pun akan membunuhnya. Tapi meskipun
ia terbunuh ia masih mengharapkan doa dari orang yang
telah melahirkannya. Sebuah doa yang diyakininya akan
diaminkan malaikat dan dikabulkan oleh-Nya.

Dino tidak cengeng dalam karya meskipun ia hidup dalam
pelarian yang panjang.. Konflik yang melanda Ambon
memang memisahkan dirinya dari hangatnya pasir putih
dan lincahnya gelombang laut. Hanya raga yang memberi
jarak tetapi batinnya, batinnya sangat dekat mendekap
Ambon. Puisi-puisi yang terdapat dalam Kipas Lenso
Putih benar-benar menghipnotis kita seolah-olah kita
hadir di kota yang sangat eksotis itu. Kita seakan
berada di teluk, di sebuah dermaga tua dengan perahu
mengambang dan ikan menari-nari di bawahnya. Telinga
kita seakan mendengar nyanyian para jejaka dan kipas
lenso diayunkan. Angin semilir, langit temaram dan
kaki-kaki perkasa sambil bersiul melempar jala dan
percikan air laut menerpa rahangnya. Aroma mantra dan
Pattimura yang muram benar-benar menyatu dalam Kipas
Lenso Putih.

Dino telah bercerita banyak hal dalam puisinya . Ia
kadang meliarkan imajinasi kita dengan bahasa
sederhana. Hanya yang membuat kita sulit menyelusuri
perkembangan kepenyairannya justru karena dalam
penyusunan puisinya Dino tak mengurutkan berdasarkan
tahun penulisan. Tapi bagaimanapun Dino telah
memberikan sesuatu yang berharga dalam karyanya yang
mungkin akan kita rasakan manfaatnya suatu saat nanti.
Dan bagi saya yang baru membaca karya Dino, saya
menemukan kepuasan yang luar biasa meskipun saya tidak
bisa menulis pengantar yang lebih bagus. Karena
sesungguhnya saya seorang penulis, sama seperti Dino
Umahuk.

Terpandang aku
Bicara rendah hati si bunyi embun
Terdengar dalam gemersik bisik malu
Semboyan itu telah berbunyi
Perlahan dan penuh tatatertib…

Buka lah mata mu..
Buka lah segala deria pendengaran ..

Bukalah pintu hati mu..
Dia telah lama di depan pintu…

– oney –

Ada apa pada cinta??
Suatu Masa dulu bagiku cinta itu suci
Tiada apa yang boleh menandingi
Tapi kini semua itu tiada lagi bererti

Ada apa pada cinta??
Hanya manis pada bicara
Kononnya tiada curiga
Kan kekal ke akhirnya

Ada apa pada cinta??
Hanya duka dan lara
Tidak difahami bagi mereka yang tidak mengalaminya

Tapi,
aku percaya pada satu cinta yang tiada akhirnya
Hanya cinta pada yang Esa…….
Kan kekal selamanya………

“ctshuhadah”

Malam ini suasananya berbeda…
Kupandang langit begitu indah…
Begitu banyak bintang di angkasa…
Berkilau seperti intan permata…

Namun di antara berjuta bintang…
Hanya satu yang kupandang…
Ada yang berbeda dari kilaunya…
Tak seperti bintang pada umumnya…

Hati ini pun ingin memilikinya…
Tapi apa daya kuhanya manusia biasa…
Ku tak sanggup untuk menggapainya…
Ku hanya bisa memandanginya…

Akankah bintang itu turun ke bumi…???
Dan bersinar di hati yang telah lama menanti…
Apapun bisa saja terjadi atas kehendak Illahi…
Akupun bersabar menanti bintang pilihan Rabbi…

“syazie1979”

Dua Insan,
Yang berjanji sumpah setia
Ingin hidup kekal bahagia
hingga ke akhirnya.

Dua Insan,
Bahagia cuma seketika cuma
cinta sayang kasih entah kemana
alpa dengan kehadirannya….

Dua Insan,
kini diterjah insan ketiga
hatinya diguris bak sembilu
terlerai sudah janji setia
tak mampu diungkapkan dengan kata kata…

Kini,
berserahlah dikau pada yang Esa
Cinta yang berputik terlerai jua
Tak mampu untuk kau menahannya

Cinta yang dibina telah pergi jua..
Tak menoleh ke belakang lagi…
hanya doa dipanjatkan..
agar dapat meneruskan hayatnya
Tanpa kehadiran dia….

Kau kecundang akhirnya……..

“ctshuhadah”

Telah ku berikan ruang
Walau sangat sempit
Dan karat bumbung nya
Untuk kau berteduh sementara
Menghilangkan lelah
Kepenatan bekerja
Setelah berjuang dalam masa harian mu

<>

Di ruangan itu
Cukup untuk kita berseloka
Belajar tentang kata-kata prasasti terindah
Yang menjadi jalan kita menjelmakan kata
Tanpa perlu menunjuk bentuk di sebalik rupa

<>

Di ruang yg hangat itu
Aku menyediakan gerbang² pintu untuk kau mencari
Aset² yang perlu kau ada..
Tunjang² yang menyokong kau menegak berdiri
Menghapuskan sisa jajahan yang menjadi bara
Dan titik keterbukaan dirimu untuk sesiapa selepas ini

<>

Di ruang terpencil itu
Aku yang menjadi dinding melihat kau tatih berdiri
Aku jadi bumbung lindungi mu semasa detik pencarian
Aku menjadi pintu lorong menunjuk aset perlumu
Aku menjadi air menghapuskan bara menyala merah
Dan di setakat itu sahaja yang mampu aku berada..
Kerna aku bukan siapa²…

<>

Dan
Sehingga semalam
Aku mencari mu di ruang seperti lazimnya
Ingin menemanimu mengira bintang² berseri
Yang telah kau temui di jarak pencarian ..

<>

Dan sehingga terbit fajar tadi
Ku menganggap ..
Ruang itu telah mati..
Tidak kan ada yg akan kembali
Kau telah temui ruangan baru
Di semilir pesada bintang berkilauan
Dan meninggalkan aku yg kelelahan…

– oney –
11:48
20 feb 08

Syarifah Nor Azizah Syed Mohamed
Embun pagi membasahi pipi
Menyedarkan daku dari terus dibuai mimpi nan indah bersamamu
si gadis Jepun pemikat hati
bagai rembulan di kamar sepi
tak puas daku diulit mimpi nan indah
tetiba sang fajar datang menganggu
membawa ku kembali kea lam REALITI….

Myelina Tashiro <myelina_tashiro@yahoo.com> wrote:
Citra cinta
apakah harum mawar
bersemadi di tamannya
aku embun yang hidup
di celah-celah damaimu
jelita dalam manja
senyum tawa tangis amarah
menghadiahkan peribadi
yang mengaromakan lagi
taman sendaloka
mahligai impian bersama

Ini citra cinta kita
abadi di manapun berada
ketika dekat walaupun jauh
tiada ada rasa terpisah
jejarimu menakluk kalbu
kalbuku menyimpan damai hatimu
ini citra cinta kita
satu di dalam maknanya
Tuhan Maha Tahu
di mana kamu di situ aku
di mana aku di situ kamu…

Myelina san 🙂

— In Alhaddads@yahoogrou

ps.com, Syed Badrul Hisyam Alhaddad <al_haddads@…> wrote:
>
> Bagai embun
> Bahagia yang datang
> Sekejap dan seketika cuma
> Belum puas aku tersenyum
> Belum puas aku ketawa
> Fajar telah pun menjemputnya pergi
>
> Bagai embun
> Cinta yang bertandang
> Saat aku leka di dalamnya
> Saat aku terbuai olehnya
> Saat aku merasa ketenangan
> Fajar itu telah menjemputnya pergi
>
> Bagai embun
> Itulah bahagia yang pernah ku kecapi
> Sekejap dan seketika cuma
> Namun membasahi setiap ruang hidup ku
>
> Bagai embun
> Itulah cinta yang pernah kulalui
> Saat aku leka didalamnya
> Hanyut dalam kesuciannya
> Menabur janji dan harapan untuk bersama
> Dia telah pergi mengadap ilahi
>
> Bagai embun
> Suci, dingin dan sejernih mutiara
> Hadir sepertiga malam
> Berlalu di saat fajar tiba..
>
>
> Pencinta penulisan
> Syed Badrul Hisyam Alhaddad
> http://alhaddads.wordpress.com
> join saya (klip sini)

Kelmarin…kita ayun langkah bersama
Kelmarin…kita pernah menimang rasa
Kelmarin…ada rindu di hujung impianmu dan impianku
Kelmarin…sebait kenangan tentang kau dan aku

Aku tak ingin bicara lagi tentang kelmarin
Jika langkah kita tak lagi terayun bersama
Jika kita tak lagi menimang rasa
Jika rindu tak lagi menunggu di hujung impian

Mungkin…kita memang tak harus bersama
Sejak kau kejar mimpimu
yang di sana tak lagi ada aku…

Myelina Tashiro.
20 Feb 2008.

Aku

Posted on: Februari 25, 2008

Kemarin bukan Aku…
Hari ini tak kutemukan Aku…
Adakah esok Aku ?
Sayapku patah…
Cahayaku memudar…
Ku sunyi ditengah riuh
Ku Hitam ditengah putih
Aku Layu…
Aku Jatuh…
Aku Hilang…
Aku Rapuh…
Aku Luka…
Tegarku hanya fatamorgana
Mudah hilang dalam satu kedip mata
Lalu kembali ke mulanya
Menjadi padang pasir
Yang panas…
Yang gersang…
Yang terasing…
Senyumku tabir paras
Candaku selimut perih
Riangku hanya maya
Aku tersesat dalam labirin duka
Perih…
Sakit…
Lelah…

kiriman: “syazie1979”

Bagaimana mahu aku bicarakan
Perasaan daku tika ini
Terasa jantungku laju berdegup
Bagai tersimpan satu perasaan
Yang tersasar jauh dari jangkaanku

Sejak ku terpandang wajahnya
Terdengar satu suara menyatakan
Dia milikku…
Terasa satu perasaan yang tidak dapat diungkapkan
Terasa satu perasaan yang luar biasa
Terasa ingin dekat dengannya
Terasa ingin kenal dengannya

Semalam…
tidurku tidak lena
Kerana terlalu mengingatinya
Jiwaku rasa memberontak

Pagi ini…
Masih lagi aku terasa
Tetapi..ku tidak tahu bagaimanakah caranya
Untuk mendekatinya..
Ingin ku khabarkan pada bonda…
malu rasanya…
Adakah aku jatuh cinta buat kali yang ke-2?

~CtShuhadah~

Ya Allah,
Berilah aku kekuatan dalam menghadapi ujianMu.
Berilah aku petunjuk dan hidayah agar aku tidak sesat.
Terangilah jalanku dengan cahayaMu.

Ya Allah,
Jadikanlah aku orang-orang yang kuat dan sabar dalam melayani kehendakMu.
Jadikanlah aku orang-orang yang redha atas sesuatu perkara yang menimpa.
Jadikanlah aku setabah para utusanMu ketika mereka sedang berjihad,
hingga akhirnya mereka menang memerangi musuhMu.

Ya Allah,
Berikanlah berita gembira buatku,
dan buat mereka yang sentiasa sabar dengan ujian yang menimpa.
Bukakan mata hati dan mata batinku agar bisa memahami
hikmah yang Engkau turunkan.

Ya Allah,
Jadikanlah aku hambaMu,
yang bersyukur atas nikmat dan rahmat yang Engkau kurniakan.
Hindarilah aku daripada menjadi orang-orang yang lalai dan
hindari juga aku dari menjadi orang-orang yang fasik.

Ya Allah,
Janganlah Engkau putuskan nikmat yang Engkau berikan padaku.
Pimpinlah aku agar terus berada di landasanMu yang benar ini.
Pimpinlah aku menjadi wanita soleha dan baik budi serta akhlaknya.

Ya Allah,
Ampuni segala dosa yang telah aku lakukan.
Berikanlah aku kejayaan di Dunia dan di Akhirat….

Amin….


*Myelina Tashiro

Tak pernah tak ada wangimu
memberi cahaya pada kamarku
yang disenandungi rindu
tak pernah tak ada warnamu
menakung bayu memberi baru
yang menyelimutkan bahang syahdu

Ini tak hanya puisi
kujanakan makna dalamnya
melebur dalam kalbu
tak pernah mengalih arah
menyatu dalam rindu
yang tak siapa menyertainya
walau tak siapa menafikannya

Meski harus memelihara
dalam jelaga yang hanya kita memutihkannya
dalam selimut suci sebersih hati warna dan wangimu
menjadi milikmu jua
yang menghiasi kamar diri

Sambil kita menanam benih peribadi
setia seumpama embun
agung seumpama cahaya mentari
melewati hari demi hari
merestui
akrab umpama kuku dan isi…

Sesungguhnya kita adalah para pemudik yang suka lupa
Maka jika lautan masih menyala, mendayunglah sekuat
tenaga
Jangan menunggu senyap apalagi gelap menghiba
Tanpa haluan tergambar jelas jalan pulang pasti gulita

Sesungguhnya kita adalah pemudik dengan nasib secarik
kertas
Sejauh mana memandang hidup jangan sampai menjadi
getas
Tersandung batu terhempas badai, rahasia Tuhan harus
kita retas
Berpayung zikir bersayap tawaddu, dengan Bismillah
maju menderas

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya tanpa
penawar
Kita sudah pasti pulang dengan bekal yang siap di
takar
Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah
mawar
Sesungguhnya segala amal tak bisa lagi menjadi
pencahar

“Maka beruntunglah mereka  yang pulang berbekal amal”

Serambi Mekah, 23 Februari 2008

Dino Umahuk: metafora birahi laut
www.birahilaut.multiply.com

Tangan yang menengadah dengan balutan iman
Adalah lembar-lembar doa yang melesat ke tiang Arsy
Bila zikir kau sematkan ke kaki langit
Guguran airmata petanda cinta akan tersulam sebagai
cahaya

Lalu nikmat mana lagi  dari rahasia Tuhanmu yang kau
ingkari
Kau mengumpulkan berton-ton kekebalan hanya untuk
tenggelam
Seolah perahu nasib bisa terbang melintasi waktu
Padahal lautan adalah awal dan akhir kehidupan jika
kau tahu

Maka sesungguhnya tiap-tiap yang hidup akan mengalami
mati
Dengan jalan apa menuju kemana ini tentu sebuah
pilihan
Kepada kita di beri akal semestinya ia menjadi sinar
Ke arah mana jalan pulang harus menuju

Serambi Mekah, 23 Februari 2008

Dino Umahuk; Metafora Birahi Laut
            www.birahilaut.multiply.com

Bila, aku sudah tiada
Simpan semua lagu ku
Jangan di tangis selalu
Mungkin, itu sementara
Bila jumpa pengganti ku
jangan di lupakan aku
Pagi itu indah seperti biasa
Tidur yang lena terhenti di sana
Layap kuyu masih tak terdaya
Bukalah tingkap mu
Curahkan cahaya…
Siapa yang sangka
Bila tiba masa kita
Untuk pergi selamanya
Takkan terduga
Jika saat ni
Tuhan tentukan
Aku lah orangnya
Gelak tawa tangisan yang hiba
Kenangan kita masa di dunia
Alangkah indahnya jika
Kita mampu hidup selamanya…
Di kirim oleh: Blackcrv Sha


Tajuk-tajuk Sastera

Alhaddad's Blog Stats

  • 25,885 kali dilawati

Alhaddad’s arkid

Alhaddad’s kalendar

Februari 2008
I S R K J S A
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
2526272829  

Pengumuman Alhadaddad’s

Kebanyakan artikel di dalam blog ini adalah dari sumber-sumber lain. bukan sepenuhnya karya asli penulis. Harap maklum.

Top Clicks

  • Tiada

Flickr Photos